Imam Al Bukhari dan Ghibah


Pada kesempatan yang telah lalu, kita pernah membahas mengenai kalimat "fiihi nazhar" yang artinya kurang lebih "haditsnya perlu diteliti". Ini adalah ungkapan Imam Al Bukhari untuk perawi hadits yang sangat lemah. Nah, sekarang mari kita bicarakan mengenai sisi filosifis ungkapan tersebut.

Kenapa sih digunakan istilah itu? Kenapa tidak langsung saja dikatakan "Fulan sangat lemah haditsnya", misalnya? Jawabannya ada di kitab Siyar A'lam An Nubala karya Imam Adz Dzahabi. Beliau meriwayatkan bahwa Bakr bin Munir berkata: Aku mendengar Al Bukhari berkata:


أرجو أن ألقى الله ولا يحاسبني أني اغتبت أحدا

"Aku berharap bertemu Allah dan tidak dihisab karena meng-ghibah seorangpun"

Lalu Imam Adz Dzahabi berkomentar:
صدق رحمه الله، ومن نظر في كلامه في الجرح والتعديل علم ورعه في الكلام في الناس وإنصافه فيمن يضعِّفه، فإنه أكثر ما يقول: منكر الحديث، سكتوا عنه، فيه نظر ونحو هذا، وقلَّ أن يقول: فلانٌ كذاب، أو كان يضع الحديث، حتى أنه قال: إذا قلت: فلان في حديثه نظر فهو متهم واهٍ، وهذا معنى قوله: "لا يحاسبني الله أني اغتبت أحداً" وهذا والله غاية الورع". اهـ

"Sungguh benar beliau, semoga Allah merahmatinya. Siapa saja yang meneliti perkataan beliau dalam al-jarh wat ta'dil (penilaian perawi -pent), niscaya akan tahu sikap wara' (kehati-hatian)-nya dalam mengomentari orang lain, serta sikap pertengahannya terhadap perawi yang ia dha'ifkan. Maka dari itu beliau lebih sering mengatakan: "munkarul hadits", "ia didiamkan", "ia perlu diteliti haditsnya" dan sejenis itu.

Dan sedikit sekali beliau mengatakan: "Fulan pendusta", "Fulan pemalsu hadits", sampai beliau katakan: "Siapa saja yang kukatakan bahwa haditsnya perlu diteliti, maka dia tertuduh lemah". Dan inilah makna kalimat beliau: "Semoga aku tidak dihisab Allah lantaran meng-ghibah seorang pun". Dan ini adalah -Demi Allah- merupakan puncaknya sikap wara' (hati-hati)".
[Siyar A'lam An Nubala 12/439]

Saudara-saudara sekalian, ini ilmu penilaian perawi hadits yang menyangkut agama kita, dan Imam Al Bukhari sangat punya alasan syar'i untuk berkata apa adanya terhadap perawi yang memang lemah, tanpa harus memperhalus bahasanya. Tapi, perhatikan kehati-hatian beliau dalam mengungkapkan kelemahan perawi!

Bandingkan dengan diri kita sekarang. Lisan begitu mudah mencela, mengejek fisik maupun kelemahan manusia lain, dan yang paling parah, TANPA alasan syar'i atau alasan lain yang bisa dibenarkan!

Anda muslim kan? Kenapa saudara Anda tidak salim (selamat) dari lisan Anda?


Diambil dari FB Ustadz Ristiyan Ragil

Dikutup dari OA Islam Yang Sehat